watch sexy videos at nza-vids!

cerita sex dewasa

cerita seks daun muda | cerita mesum pemerkosaan
 | cerita sex artis | cerita seks setengah baya
| cerita pesta seks | cerita dewasa selingkuh

http://ceritaseru.net

Gambar XXX
Tags: cerita sex artis , karya raito yagami

Pevita Pearce Kenangan di Lembah Baliem

Pagi yang indah di lembah Baliem, matahari menyorot lembut mencoba menembus kabut yang memang selalu mengambang diatas lembah, menciptakan pemandangan yang amat indah dan sulit dilupakan. Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa belum ke Papua jika belum ke Wamena. Pagi itu langit dan kabut Lembah Baliem terbelah oleh laju sebuah pesawat cessna twin engine, pesawat kecil itu tampak bergoyang diterpa angin seperti mau jatuh saja, tapi sedetik kemudian kembali melaju kencang. Pesawat yang baru saja meninggalkan Wamena itu hendak menuju Jayapura, penumpangnya hanya dua orang, seorang pilot kawakan asli papua, bernama Christian, dan seorang gadis imut dan cantik bernama Pevita Pearce. Meskipun si gadis adalah seorang artis dan sudah membintangi dua film layar lebar, tapi mungkin belum banyak yang mengenal  nama itu, karena gadis belia blasteran Inggris – Banjarmasin tersebut memang masih terhitung pendatang baru. Film pertama Pevita adalah Denias: Negeri diatas Awan. Seluruh syuting film tersebut dishoot di atas bumi Papua, tepatnya di Wamena. Semenjak film tersebut, Pevita merasa jatuh cinta akan keindahan bumi Papua dan bertekad untuk kembali ke Papua suatu hari nanti. Dan tekad inipun akhirnya terwujud. Seminggu yang lalu, sehari setelah hari kelulusannya dari sebuah SMP swasta di Jakarta, Pevita pun pergi berlibur seorang diri ke bumi Papua yang ia rindukan.
cerita sex artis kisah ngentot artis pevita pearce kenangan di lembah baliem



Hari liburannya ia habiskan dengan hiking, memotret keindahan alam dan menjalin komunikasi dengan penduduk setempat, hingga kemarin ia menerima telepon dari salah seorang cast film Denias yang mengabarkan bahwa sebagian besar cast film tersebut kini membentuk kelompok teater di Jayapura, merekapun mengajak Pevita untuk mengunjungi kelompok teater mereka yang masih seumur jagung. Itulah alasannya kenapa Pevita kini berada di sebuah pesawat kecil, melintasi padang rumput dan hutan-hutan menuju Jayapura. Didalam pesawat, Pevita melongok melalui jendela, dan memotret hamparan hutan dan padang rumputnya dibawahnya.
“Pak Christian, katanya di sebagian hutan-hutan disini, masih terdapat suku terasing yah, trus masih ada yang kanibal gitu, emang bener?” tanyanya dengan nada khas seorang remaja yang baru tumbuh gede.
“Apaa? Ha.ha..ha. Kalo suku terasing memang masih banyak, tapi kalo yang kanibal bisa dibilang sudah tidak ada. Kalaupun ada beberapa kasus, yah kasus khusus saja, bukan kebiasaan sukunya” jelasnya.
“Ohh gitu” katanya dengan wajah polos.
Pevita pun kembali  melihat-lihat pemandangan indah yang terhampar dibawahnya,sambil sesekali menggunakan kamera nikon-nya untuk memotret pemandangan itu.

Tiba-tiba pesawat tersebut terasa terguncang hebat, Chris sejenak berjuang mengendalikan pesawat, berhasil, namun guncangan kedua kembali menerpa, seluruh indikator di kokpit mendadak kacau, Chris lalu mengetuk-ngetuk  indikator altometer dan barometer, sepertinya ada kerusakan, bahkan jarum tanda bahan bakar pun naik turun dengan cepat.
“Pak ada apa?” tanya Pevita mulai ketakutan, melihat sang pilot yang menampakkan wajah cemas
“Gak tahu, semua indikator kok tiba-tiba ngaco gini. De Pevita pegangan yang erat, kayaknya kita harus mendarat darurat” kata Chris yang masih sibuk mengendalikan kemudi pesawat yang mulai liar.
Pevita belum pernah merasa setakut ini sebelumnya, iapun berpegang erat erat pada kursinya, ia merasakan pesawat tersebut menukik tajam, dan celakanya hanya ada  hutan lebat sejauh mata memandang. Getaran pesawat makin hebat, dan…
“Boooommm…braakk…gerressk…” pesawat itupun jatuh menimpa sekumpulan pohon besar didalam hutan tersebut,
“Whuaaahhh…toloooong!” kepala Pevita seakan mau pecah bukan hanya karena suara bising yang ditimbulkan benturan pesawat, tapi juga karena kepalanya memang membentur kokpit pesawat didepannya, pandangannya sesaat menjadi merah, lalu segalanya menjadi gelap

 ******
Pevita merasa seakan sedang bermimpi, merasa ada tangan-tangan tak bertubuh mejamahi tubuhnya, mengangkatnya, lalu kemudian tangan-tangan tersebut berubah menjadi sosok yang menyeramkan, lalu ia serasa melihat rumahnya di Jakarta, lengkap dengan ayah dan ibunya berdiri diluar, Pevita pun berusaha menghampiri mereka, namun tangan-tangan itu menahannya, ia berusaha menggapai kedua orang tuannya, tetapi mereka semakin menjauh, iapun berteriak sekuatnya.
“Pappaaaa…maaammaa..” Pevita terbangun dengan terengah-engah,  kepalanya terasa begitu pusing dan berat seperti diganduli batu besar.
Ia berusaha bangkit untuk duduk tegak, tapi tubuhnya terasa lemah. Ia membuka lebar-lebar kedua matanya yang berkunang-kunang. Yang pertama ia lihat adalah atap rumbia diatasnya, lalu dinding kayu di sekelilingnya, pembaringannyapun terasa keras, sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia tidur tidak beralaskan kasur sama sekali. Dimana aku, pikirnya dalam hati. Saat itulah sesosok tubuh memasuki rumah kayu tersebut, sesosok tubuh hitam legam dengan rambut ikal kemerahan. Tubuh itu hampir telanjang, kecuali sebuah rok dari sejenis tumbuhan yang dipakainya, sementara payudaranya yang hitam menggelambir terlihat bebas, rupanya sosok tubuh itu seorang wanita.

Melihat Pevita telah membuka matanya, si wanita mengurungkan niatnya semula dan beranjak keluar sambil berteriak-teriak dalam bahasa yang tidak dipahami Pevita. Ia hendak mencegahnya untuk menanyakan dimana ia berada, namun tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Tidak lama kemudian beberapa sosok tubuh memasuki rumah beralaskan tanah tersebut. Salah satu diantaranya mendekati Pevita dan mulai berkata-kata dalam bahasa yang tidak dipahaminya. Sambil berjuang menahan rasa pusing dikepalanya, Pevita berusaha berbicara.
“Tunggu, bisa bahasa Indonesia kah? ” tanyanya.
Sejenak orang-orang tersebut saling pandang, hingga kemudian salah satu diantaranya angkat bicara.
“Sedikit..bisa..” jawabnya terpatah-patah.
Orang itu kelihatannya belum begitu tua, mungkin 40-an, tubuhnya yang hitam legam dan berotot, hanya ditutupi oleh koteka dan kalung-kalung adat yang menghiasinya.
“Saya dimana?” Tanya Pevita yang sudah berkurang pusingnya, hingga iapun memaksakan diri untuk duduk.
“Desa… Parawa…” Jawab si lelaki
“Dimana itu?” tanya pevita lagi
“ahhh…dekat… Krao…dekat Jayapura” katanya setelah berpikir sebentar.
Krao, kota diantara Wamena dan Jayapura, iapun merasa lega, setidaknya ia masih bisa melanjutkan perjalanan ke Jayapura .

“Teman saya dimana?” tanya Pevita ketika teringat akan Chris sang pilot.
“Te..man? …ah..sahabat!..mati..kena pohon” kata sang lelaki sambil menunjuk lehernya.
Pevita langsung merasakan kesedihan yang amat dalam, meskipun baru kenal dengan Chris, namun ia merasa bahwa kematiannya adalah akibat keinginannya untuk pergi ke Jayapura. Ironisnya justru ia yang berhasil diselamatkan oleh suku tersebut, sedangkan Chris tidak selamat. Isak tangis pun tak tertahankan lagi. Melihat tamunya menangis, orang orang suku pribumi papua itupun meninggalkan rumah tersebut, sepertinya ingin memberinya kesempatan untuk berkabung menangisi kematiannya sang pilot. Sejam lamanya Pevita menyesali diri, setelah bisa menenangkan diri, iapun bangkit turun dari pembaringan dan berjalan limbung menuju pintu keluar, ketika ia membuka tirai serat kayu yang digunakan sebagai pintu rumah tradisional itu, Pevita bisa melihat bahwa ia ternyata berada ditengah suku pedalaman Papua yang masih terasing dan primitif. Melihat kehadirannya, sontak semua kepala menoleh padanya, bisik-bisik pun terdengar.
“Jangan…keluar…masukk..tidur” kata si lelaki yang sepertinya bertindak sebagai penterjemah, ia tampak berjalan menghampiri Pevita, wajahnya menampakkan rasa khawatir yang mendalam.
Mereka pun kembali memasuki rumah tadi.
“Maaf..pak saya harus ke Jayapura, bisa tolong antar saya?” tanyanya.
“Jayapura? Bisa…tiga..ehmm..apa?…” katanya sambil menggerakan jarinya seperti orang berjalan.
“Tiga hari jalan?” tanya Pevita
“Ya..tiga hari jalan!..kamu tidur…kuat ..jalan, saya antar” katanya sambil terseyum ramah.
Pevita mengerti maksudnya, tubuhnya masih lemah, tidak akan kuat berjalan menembus hutan selama tiga hari, ia pun menganggukan kepala tanda mengerti. Si lelaki tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

******
Selama tiga hari berikutnya Pevita beristirahat didesa tersebut, tidak banyak yang dilakukannya kecuali istirahat dan berjalan-jalan sekitar kampung. Desa itu amat damai, selain bercocok tanam dan beternak, tidak banyak kegiatan yang terjadi disekitarnya. Terkadang Pevita merasa risih melihat para penduduk desa yang bisa dibilang hampir telanjang, terutama kaum lelakinya. Memang sebagian ada yang sudah memakai kaos yang dekilnya sudah minta ampun, tapi sebagian besar hanya mengenakan koteka, sehingga selain batang penis mereka, semua bagian tubuh mereka terbuka, termasuk pantat mereka yang hitam legam.  Tapi semua orang di desa tersebut amat ramah, termasuk anak-anak kecil yang berlarian telanjang secara bebas, sehingga membuatnya langsung nyaman di desa tersebut. Tiga hari kemudian, Pevita merasa tubuhnya telah cukup fit sehingga ia meminta untuk diantar ke Jayapura atau kota terdekat dimana ia kemudian bisa melanjutkan perjalanan. Kepala suku tersebut setuju dan menyuruh si penterjemah dan seorang pemuda untuk mengantar Pevita. Si penterjemah bernama Kabes, satu-satunya anggota suku yang menguasai bahasa Indonesia, meskipun seadanya. Sedangkan si pemuda bernama Worai, putra kepala suku, usianya mungkin baru menginjak 17 atau 18 tahun. Seperti Kabes, Worai pun tinggi besar dan berotot, layaknya petarung, seperti tubuhnya, wajahnya pun hitam legam, kecuali giginya yang putih bersih.

Worai lah yang menyelamatkan Pevita dengan menariknya dari reruntuhan pesawat tepat sebelum reruntuhan itu terbakar. Worai yang  waktu dalam perjalanan berburu lalu menggendong Pevita berjalan melalui hutan hingga sampai dengan selamat di desa tersebut, jadi bisa dibilang Pevita berhutang nyawa pada Worai.  Setelah diadakan upacara sederhana, rombongan kecil itupun berangkat menembus hutan menuju Jayapura. Tidak banyak yang dibawa, hanya bekal makanan seadanya, sementara Pevita sama sekali tidak membawa apapun, satu-satunya pakaian yang ia bawa pun hanya pakaian yang ia pakai,berupa celana pendek model army, tank-top hijau, dan kemeja army tebal yang sudah sobek di beberapa tempat. Terpikir untuk kembali ke reruntuhan pesawat, tapi ia mengurungkan niatnya karena merasa tidak akan kuat mental melihat reruntuhan tersebut. Sepanjang perjalanan, tidak banyak yang terjadi, mereka mengobrol sebisanya namun kendala bahasa menghambat komunikasi mereka.  Pevita dan Kabes cepat akrab meskipun obrolan mereka dicampur dengan bahasa isyarat, namun Worai justu sebaliknya, pemuda itu selalu berjalan mendahului atau dibelakang Pevita, ia tidak berusaha menjalin komunikasi, hanya seringkali Pevita memergokinya menatap tubuhnya dengan perasaan yang membuat risih.

Malam pun tiba, suhu udara turun dengan drastis dan serangga-serangga mulai berkerumun. Mereka pun menyalakan api unggun, sementara Kabes menyerahkan sekantung lemak hewan, untuk mengusir dingin dan serangga. Pevita semula enggan menggosokkan lemak ke seluruh tubuhnya tersebut, tapi ia tidak memiliki pilihan lain, sehingga iapun menggunakan lemak hewan tersebut.  Keesokan harinya mereka kembali berjalan sepanjang pagi, hingga siangnya mereka menemukan sebuah air terjun yang cukup besar. Pemandangan ditempat itu sungguh indah, sehingga Pevita merasa menyesal tidak membawa kamera ditangannya. Tiba-tiba, Kabes dan Worai membuka koteka mereka hingga mereka berdua telanjang bulat, lalu terjun ke danau kecil dibawah air terjun tersebut. Muka Pevita langsung memerah, baru kali ini ia melihat tubuh telanjang lelaki dewasa.
“Ayo..sini..” ajak Kabes pada Pevita.
Pevita sejenak berpikir, tidak mungkin ia terjun keair dengan berpakaian lengkap, pakaian ini adalah pakaian satu-satunya, jika ia pakai terjun terus langsung berjalan dengan baju basah,  ia bisa menderita radang paru-paru. Ia benar-benar ingin mandi untuk menghapus jejak dan aroma lemak hewan yang masih menempel ditubuhnya. Setelah menimbang-nimbang, iapun memustuskan untuk mandi, bukankan suku-nya Kabes sudah terbiasa melihat wanita setengah telanjang? Jadi pasti tidak akan ada masalah. Jadi dengan menahan rasa malu, Pevita membuka kemeja dan Tank topnya, lalu memelorotkan celana pendeknya, hingga si gadis remaja hanya berdiri dengan mengenakan BH dan celana dalam saja.

Sejenak ada perasaan aneh melingkupi dirinya, berdiri setengah telanjang seperti ini dihadapan lelaki, baru kali ia lakukan. Tapi ia mengibaskan perasaan itu dan segera bergerak menuju air.  Kabes tampak acuh tak acuh melihatnya, tetapi Worai melotot melihat tubuh putih mulus Pevita yang sangat kontras dengan tubuhnya sendiri. Pevita berusaha mengacuhkannya dan merendamkan tubuhnya kedalam air, sungguh segar rasanya. Tiba-tiba Kabes waspada, ia segera berlari kedaratan langsung menuju hutan.
“kelinci..kelinci” katanya sambil berlari dan menyambar busus dan kantong anak panahnya, iapun melompat kebalik semak langsung menuju hutan.
Sekarang hanya tinggal Worai dan Pevita, melihat pandangan Worai yang seperti menelanjanginya, Pevita merasa risih, iapun  berjalan ke tepi untuk mengambil pakaiannya. Tapi tiba-tiba ia merasa ada yang memegang tangannya dan menariknya, Worai berdiri dengan memegang bahu Pevita dengan kedua tangannya. Pevita terkejut, ia menatap mata Worai yang terlihat serius, lalu tanpa sadar pandangannya turun kebawah, dan berdetak lah jantungnya lebih keras lagi, ketika melihat penis hitam Worai sudah mengacung tegak, dengan ukuran yang luar biasa besar. Panjangnya mungkin sekitar 20 cm lebih, dan diameter sebesar lengan bayi.

“Eh..mau apa kamu?..lepasin” kata Pevita gemetar, pikirannya berkecamuk.
Worai tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya dan mencoba mencium bibir Pevita, Pevita terkejut dan mencoba memalingkan wajah, namun terlambat, bibir Worai telah menyentuh bibirnya, terasa hangat dan basah, Pevita pun hanya bisa mematung. Perlahan lidah Worai menyapu bibir Pevita merah Pevita, menjilatinya perlahan sambil membuka celah masuk. Berbagai macam pikiran berkecamuk di benak Pevita, ia sungguh bingung akan apa yang terjadi. Tanpa sadar mulutnyapun terbuka. Lidah Worai seakan tahu ada celah, langsung menerobos mulut Pevita, lidahnya langsung menjilati seluruh sudut mulut Pevita hingga akhirnya lidah mereka saling membelit. Pevita yang terbawa aruspun membalasnya. Tampaknya rasa hutang budi karea telah menyelamatkan nyawanya, dan sensasi kebebasan yang muncul dari alam liar disekelilingnya telah menpengaruhi penilaiannya. Mereka pun berciuman cukup lama, hingga air liur mereka tampak membasahi sekeliling mulut mereka berdua.  Worai pun memegang kepala Pevita dengan dua tangannya, semetara kedua tangan Pevita menyusuri dada Worai yang bidang, turun hingga ke perut, hingga akhirnya kedua tangannya menggenggam penis Worai yang telah ereksi.

Baru kali ini Pevita memegang penis orang dewasa, rasanya hangat, dan berdenyut-denyut layaknya mahluk hidup. Kedua tangan Pevita yang mungil tidak sampai menutupi penis Worai yang panjang, Pevita pun perlahan menaik turunkan genggamannya di sepanjang batang penis Worai. Worai pun terengah-engah merasakan hallusnya tangan Pevita disepanjang batang penisnya, ciuman mereka pun bertambah hangat. Tak lama, Worai mengangkat tubuh Pevita dengan mudahnya, dan menggendongnya kepinggir danau. Ia lalu membaringkan tubuh Pevita diatas rumput tebal yang terletak tak jauh dari situ. Mereka berdua saling tatap, pancaran kasih sayang tampa jelas dimata Worai, sementara pandangan Pevita begitu sayu, antara berahi, ragu-ragu, dan penasaran. Disatu sisi ia pasrah karena ingin balas budi, disisi lain ada rasa takut yang menyelebunginya, takut akan suatu hal yang belum ia kenal sebelumnya, yaitu memadu cinta. Setelah membaringkan Pevita, Worai berbaring di sebelahnya, ia lalu kembali mencium Pevita dengan penuh kasih sayang, sementara satu tangannya meraih payudara Pevita, lalu meremasnya dengan lembut. Pevita tersentak, belum pernah ada laki-laki yang menjamahnya seperti itu sebelumnya. Remasan lembut Worai terus berlanjut, hingga ia akhirnya mencoba meyingkirkan cup bra Pevita, namun sulit karena kaitnya masih terpasang. Menyadari hal itu, Pevita lalu bangkit duduk, kedua tanganya kebalik punggung dan membuka kait Bra-nya, bra-nya pun terlepas dengan mudah, memperlihatkan kedua payudaya mudanya yang begitu mengkal dan menggoda.

Melihat kedua payudara indah Pevita yang tidak tertutup apapun, Worai menahan nafasnya, sejak pertama melihat Pevita, ia telah jatuh hati. Belum pernah ia melihat seorang perempuan secantik Pevita sebelumnya. Kulitnya yang putih bersih dan halus, sangat berbeda dengan perempuan di desanya yang rata-rata kasar karena kerja keras. Belum lagi wajah cantiknya yan sempat membuat Worai berpikir bahwa Pevita adalah bidadari yang jatuh dari langit. Menyadari tatapan Worai yang begitu dipenuhi kekaguman, wajah Pevita memerah, ia merasa malu sehingga berusaha menutupi kedua payudaranya dengan tangannya. Tatapan malu-malu serta sikapnya yang begitu lugu namun menggoda justru memuat Worai makin terpukau. Ia lalu meraih kedua tangan Pevita, mencium kedua tangannya dengan mesra, lalu dengan lembut kembali membaringkan Pevita diatas rumput. Mulut Worai lalu menjelajah perut Pevita, menciumi mulai dari bawah perut, pusar, dada bagian bawah, ujung payudara Pevita, hingga akhirnya sampai ke puncak payudara Pevita dimana ia mengecup putting payudara Pevita lalu perlahan memasukkannya kedalam mulut, dan menghisapnya dengan lembut.  Pevita kembali menggelinjang , geli sekali rasanya. Kali ini kedua tangan Worai meraih kedua bukit payudara Pevita dan meremasnya dengan lembut, dan mulutnya beralih-alih antara dua pucuk bukit payudara pevita, hingga akhirnya kembali mendaratkan ciuman di bibir Pevita yang merekah.

Cukup lama juga keduanya bercumbu, hingga akhirnya Worai beringsut dan memposisikan diri di depan Pevita. Tangan Worai meraih berusaha menarik celana dalam Pevita. Untuk sejenak Pevita meragu dan mempertahankan celana dalamnya, ia menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Melihat penolakan Pevita, Worai pantang mundur, ia lalu menindih Pevita sementara satu tanggannya menyelusup lewat bagian atas celana dalam Pevita. Pevita berusaha meronta, tapi rontaannya lemah karena tidak disertai tekad yang kuat. Akhirnya tangan Worai berhasil menyusup kebalik celana dalam Pevita, dan meraih gundukan bukit kecil di selangkangannya. Worai pun meremas-remas bukit kecil itu dengan perlahan. Jari-jarinya lalu menemukan belahan pada bukit kecil itu, dan Worai lalu menyusuri belahan tersebut dengan jarinya, naik-turun dengan perlahan. Erangan pun keluar dari mulut Pevita, rontaannya semakin melemah. Susuran jari Worai di sepanjang belahan vagina Pevita pun semakin dalam dan dalam, hingga akhirnya Kaber menggososk clitoris Pevita dengan cukup keras, Pevita pun merasakan aliran listrik meyengat tubuhnya.
“ahhhh..jang..ann” erang Pevita.
Tapi Worai melanjutkan gosokannya tanpa ampun. Pevita pun semakin larut dalam birahi. Melihat Pevita sudah pasrah, Worai langsung menarik lepas celana dalam Pevita, iapun membuka kedua kaki Pevita lebar-lebar, dan jatuh terduduk didepan selangkangan sang artis belia.

Mata Worai serasa nanar, kepalanya pusing luar biasa, belum pernah ia melihat pemandangan seindah ini. Vagina gadis belia yang masih rapat, belahannya yang tipis ditumbuhi rambut halus yang masih amat jarang. Pevita yang melihat ekspresi Worai, kembali merasa malu, wajahnya kembali merona merah menambah cantik dan imut wajahnya.
“Jang..ann..dilihat…aku..malu” erangnya sambil berusaha menutup kedua kakinya, namun kedua tangan Worai menahannya.
Seakan setengah sadar, tangan kanan Worai menyusuri kaki Pevita, naik kelutut, lalu membelai paha mulus dihadapannya, hingga akhirnya  sampai ke pangkal paha Pevita. Tangan itu pertama-tama mengusap vagina indah tersebut, kemudian kedua jarinya menyusuri belahannya yang rapat, lalu perlahan meregangkan belahan vagina tersebut, menguakan vagina tersebut dan memperlihatkan bagian dalamnya yang berwarna merah muda, merekah indah bagai bunga yang siap dipetik. Worai ternganga, tangan dan kakinya gemetaran, jantungnya berdebar keras seakan hendak meledak. Keindahan lembah Baliem pun masih kalah indah dengan pemandangan didepannya saat ini. Perlahan kedua jari yang masih meregangkan vagina Pevita itu mulai bergerak masuk, menusuk kedalam liangnya. Masih amat sempit, kedua jari itupun hampir tidak bisa masuk, namun dengan perlahan, sedikit demi sedikit, kedua jari itupun sedikit menembus liang vagina yang belum pernah terjamah siapapun sebelumnya.

Pevita merintih, antara sesak, geli, nikmat, ia bisa merasakan senti demi senti kedua jari Worai yang menembus liang vaginanya. Worai pun menikmati  jepitan erat vagina Pevita, denyutan dinding vagina yang memijat jarinya, sensasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Worai pun mendorong jari-jarinya untuk masuk lebih jauh, perlahan-lahan, dan ketika sudah mentok, ia lalu menariknya keluar, lalu mendorongnya masuk kembali. Rintihan Pevita makin keras, iapun menggigit bibirnya menahan rasa nikmat yang menerpanya. Perlahan Worai merasakan vagina itu makin basah, dan mengeluarkan cairan lengket tapi licin yang berbau khas. Cairan itu langsung meliputi seluruh jarinya, iapun menarik tangannya dan mengamati cairan diujung jarinya itu, Worai pun memasukkan jarinya kedalam mulutnya, aroma khas perempuan langsung memenuhi seluruh indra perasa Worai, sensasi yang luar biasa. Worai lalu memposisikan diri diantara kedua kaki Pevita, satu tangannya memegang penisnya, sementara satu tangannya memegang paha Pevita, ia lalu menggosok-gosokkan kepala penisnya ke belahan vagina Pevita. Merasakan sentuhan benda tumpul itu, Pevita kembali merasa panik menyerangnya, disatu sisi ia ingin melanjutkannya, tapi di sisi lain ia memikirkan keperawanannya.  Ia kembali hendak meronta, tetapi Worai kembali menindihnya, satu tangannya mengusap-usap wajah canti Pevita, mulutnya mengeluarkan suara menenangkan.

Perlahan kepala penis Worai menerobos masuk liang vagina Pevita, hanya sedikit, namun sudah cukup untuk membuat Pevita merintih-rintih. Worai kembali mendorongkan kepala penisnya, masih susah masuk. Liang vagina Pevita yang masih erawan masih terlalu sempit untuk dioterobos penis raksasa Worai. Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya sedikit-demi sedikit penis hitam besar dan berurat itu menembus liang vagina Pevita, karena masih juga susah, Worai menggunakan sistem tarik ulur, menarik 3 senti, mendorong 5 senti, begitu terus menerus, sedikit demi sedikit. 3,5,10,12,15 senti dari penis Worai akhirnya menembus vagina Pevita. Penis itupun menmbus selaput dara sang artis jelita. Pevita pun mengeluarkan jeritan keras. Sesak sekali rasanya, pedih, perih, ingin rasanya ia menghentikannya, namun rasa askit begitu menguasainya, hingga untuk bergerak saja sulit. Worai yang menyadari penderitaan Pevita menghentikan aksinya. Ia terdiam sesaat, sambil menghayati denyutan dinding vagina Pevita yang meremas-remas penisnya, hangat.. basah…sempit. Setelah merasa bahwa Pevita mulai tenang, Worai kembali mendorongkan penisnya, Rintihan kembali keluar dari mulut Pevita, wajahnya mengernyit menahan sakit, iapun segera merangkul tubuh Worai dan mendekapnya seerat mungkin. Dengan satu dorongan terakhir, Worai pun akhirnya bisa memasukan seluruh batang penisnya kedalam liang vagina Pevita.

Keduanya terdiam sejenak, Pevita merasa bagian bawah tubuhnya terasa sesak, Worai merasa berada di langit ketujuh, kenikmatan paling luar biasa yang pernah ia alami. Tak lama keduanya kemudian saling pandang, pertukaran emosi terjadi saat itu juga. Worai lalu perlahan menggerakan pinggulnya naik turun, kesat…terlalu sempit. Lebih perlahan ia memaju munduran pinggul, kali ini disertai putaran dan goyangan. Berhasil…penisnya mulai berjalan keluar masuk, walau masih seret. Pevita merintih, setiap kali Worai menarik penisnya, bibir vagina Pevita tertarik keluar, sementara ketika Worai mendorong masuk, bibir vaginanya seakan melesak masuk. Tak lama kemudian, gerakan Worai makin lancar, dibantu oleh cairan pelumas Pevita yang mengucur keluar semakin deras disertai darah perawannya, penis itu mulai bergerak keluar masuk dengan lancar. Pevita memejamkan mata menghayati benda asing yang menyerbu kedalam vaginanya itu, ia bisa merasakan tiap milimeter dari penis Worai, terus menerus menggesek dinding liang vaginanya. Pevita pun menggigit bibirnya ketika merasakan gelombang kenikmatan yang mulai menyerangnya. Tidak bisa tidak, Pevita terus menatap penis hitam raksasa milik Worai yang terus menerus bergerak keluar masuk vaginanya, tidak habis pikir bagaimana mungkin vaginanya bisa menampung penis sebesar itu, tetapi justru hal itulah yang terjadi.

Sungguh kontras perbedaan diantara kedua anak manusia yang sedang berpacu itu, yang satu besar berotot dengan kulit hitam legam, sementara yang satu lagi mungil, putih bagai pualam, dan tamapk begitu murni. Tapi justru perpaduan keduanya, ditingkahi dengan alam liar disekeliling mereka, menimbulkan harmoni serasi yang memberi arti bagi kehidupan manusia manusia yang hanya sekejap mata. Worai sendiri merasa seakan tubuhnya siap meledak karena nikmatnya. Ia berpikir, jadi yang seperti ini yang namanya surga. Surga ternyata telah datang kehadapannya dalam bentuk mahluk cantik dan indah bernama Pervita Pearce, rasanya terlalu luar biasa untuk digambarkan, hanya bisa dirasakan dan dinikmati. Bila ia mati saat ini juga ia akan rela rasanya. Pevita tidak kalah bahagianya, sejenak ia merasa heran, bagaimana sebuah bagian tubuh bisa menimbulkan kenikmatan sebegini dashatnya, tindakan sederhana yang didasari nafsu binatang, ternyata bisa menimbulkan sensasi surgawi. Ingin rasanya Pevita menghentikan waktu saat itu juga, dan menikmati sensasi ini dalam keabadian. Kedua mahluk tuhan itupun terus berpacu mendaki puncak kenikmatan, setiap,  erangan, tarikan nafas, tatapan, sentuhan, hanya bisa memacu mereka untuk terus menggelora terbakar api birahi, dibawah tatapan langit biru Papua.

30 menit lamanya mereka berpacu, hingga kemudian Pevita merasakan dirinya ditelan gelombang besar yang meluluh lantakkan tubuhnya, seluruh tubuhnya gemetaran menahan nikmat yang tak tertandingi.
“Ahhh..aahhh..ahhh…erhhgggg…oh..godddd” erangan sensual ini menambah semangat Worai untuk terus memacu tubuh Pevita yang kini hanya bisa terlonjak-lonjak menerima gempuran Woran.
Pevita pun menjerit, orgasmenya telah tiba….Tak terbayangkan rasanya, terlalu……Tubuhnya pun merenggang, lemah, lemas, pikirannya melayang, sungguh terlalu… hanya itu yang ada di pikirannya. Worai merasakan semburan cairan orgasme Pevita, menerpa penisnya, hangat. Iapun mempercepat genjotannya, orgasme nya pun telah diambang pintu. Penisnya berdenyut keras, seakan hendak copot. Pandangannya nanar, kepalanya seperti terpukul batu, dan badannya refleks tertekuk seperti dilipat tangan tak terlihat. Worai pun menghujamkan penisnya sedalam mungkin kedalam vagina Pevita
“Ohhhh….Pevi..ta..” sambil merintihkan nama Pevita, Worai pun menyemburkan spermanya, jauh didalam relung tubuh Pevita.
Pevita bisa merasakan semburan hangat sperma Worai dalam vaginanya, memenuhi rahimnya, kenikmatan kembali meliputi Pevita, sehingga wajah cantiknya terdongak kebelakang dan terpejam, dengan mulut membentuk huruf O.

Hening sejenak menyapu danau tersebut, meskipun debur air terjun masih memacu, namun tidak ada satu suara pun yang bisa menembus pendengaran Pevita maupun Worai. Yang ada hanya kedamaian, dan ketenangan. Nafas keduanya turun naik seirama, keduanya mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, sia-sia saja, tidak ada gunanya memberi arti, pada sesuatu yang tak terdefinisikan, kecuali sebagai salah satu anugerah terbesar bagi umat manusia. Sejenak keduanya saling tatap, senyum pun terkembang. Worai mencium bibir Pevita dengan mesra, lalu jatuh terguling kesamping, keduanya kini bersisian berbaring telentang. Sejenak keduanya memandang langit biru Papua berhiasakan gulungan awan putih diatas mereka, perspektif mereka seakan terbalik, kini mereka merasa merekalah yang berada diatas awan, dan bumi berada dibawah mereka. Tidak bisa tidak, Pevita berpikir, mungkin inilah Negeri diatas Awan yang sesungguhnya, iapun tertawa perlahan lalu meningkat hingga tertawa keras, Worai pun tertawa keras menyambutnya. Inilah waktu mereka…nikmati saja.
“Sudah eh!?”  sebuah suara mengganggu mereka.
Pevita terlonjak bangun, ia segera menyambari pakaiannya yang berhamburann dan memakainnya dengan tergesa-gesa. Kabes, rupanya sudah berada disana, entah sejak kapan. Dia duduk diatas batu besar didekat danau, Satu tangannya memegang busur panah, sementara satu tangannya memegang dua ekor kelinci yang gemuk-gemuk. Senyum tampak terkembang di wajah Kabes.

Dengan salah tingkah, Pevita berusaha tersenyum sambil merapikan pakaiannya.  Karena tak tahu harus berbuat apa, iapun berjalan menjauh menuju kearah Jayapura.
“Eh..kemana?!” teriak kabes memanggilnya.
Melihat Pevita tidak menghiraukan panggilannya, Kabes melompat turun, ia mendekati Worai, lalu memegang bahu Worai.
“Selamat Worai, kamu telah menjatuhkan pilihan, sekarang kamu sudah jadi pria dewasa” katanya dalam bahasa sukunya.
Keduanya saling bertukar senyum, lalu berlari mengejar Pevita yang berjaan cepat dengan muka merah padam. Rombongan itu baru berhenti ketika gelap tiba. Mereka lalu memanggang kelinci hasil tangkapan Kabes tadi siang. Percakapanpun dimulai, Kabes pun menjelaskan adat istiadat sukunya. Dalam sukunya, jika seorang pria yang sudah mulai dewasa menyukai seorang gadis, dan secara serius hendak memperistri si gadis, ia diperbolehkan untuk memperkosa si gadis. Worai rupanya telah jatuh hati kepada Pevita, dan bermaksud memperistrinya. Maka terjadilah peristiwa tadi siang.
Pevita termenung melihat pandangan Worai yang penuh kasih sayang hatinya sangat terharu, walau bagaimanapun Worai telah menyelamatkan jiwanya. Tapi untuk menjadi istrinya, Pevita tidak mungkin mau, ia masih terlampau belia untuk diperistri, apalagi oleh orang suku pedalaman seperti Worai yang statusnya beda jauh dari dirinya yang aktris. Untuk sementara bermacam pikiran berkecamuk di benaknya. Cahaya api unggun terus bergerak-gerak menyinari ketiganya, namun cahaya di mata Worai jauh lebih bersinar, yang justru makin menusuk perasaan Pevita. Pevita pun memalingkan wajahnya, ia jadi malu membayangkan kejadian tadi itu. Itu adalah seks pertamanya, sebuah pengalaman yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup, terlibat seks di alam liar dengan penduduk asli.
“Yah…nikmati saja hari ini, lalu terimalah esok hari dengan segala kebesarannya.” Katanya dalam sambil tersenyum ditahan.

By : Raito Yagami
NB: Sebelum ada yang mau protes “kurang panjang bos!”. Gue mau kasih pengumuman bahwa cerita ini masih ada lanjutannya. Cuma gue masih bingung, lanjutannya mau bikin yang soft kayak gini, apa mendingan jadiin hard dikit. Soalnya dua-duanya sama sama masuk buat cerita ini.
Bagaimana pendapat bro dan sis sekalian? Silahkan kasih feedback

1 Agustus 2008

Cerita ini hanya rekaan semata, jika ada diantara pembaca yang sulit membedakan antara rekaan dan realitas, silahkan hubungi psikiater terdekat.

Say no to drugs, say yes to free (safe) sex!

Judul Pevita Pearce Kenangan di Lembah Baliem
Created at 2018-01-15
Rating 3 / 5
Back to posts
CERITA SEX
Komik Sex

kategori
cerita seks daun muda (23)
cerita mesum pemerkosaan (24)
cerita sex artis (11)
cerita seks setengah baya (38)
cerita pesta seks (16)
cerita dewasa selingkuh (12)
cerita hot 18 (7)
cerita xxx mahasiswi (8)
cerita bokep abg (7)
humor dewasa (3)
cerita sex foto model (1)
cerita sex misteri (1)
pengarang
karya pengarang lain (59)
karya andani citra (16)
karya lily panther (12)
karya elly (2)
karya vein (8)
karya triastuti (2)
karya anggie angreini (3)
karya dina nakal (6)
karya chad (2)
karya harry potter (7)
karya naga langit (7)
karya raito yagami (8)
karya joeanchoexs (1)
karya aliah (2)
karya dr H (1)
karya ara456 (1)
karya yohana (1)
serial cerita dewasa
gadis pemuas (3)
malapetaka KKN (3)
kisah alfi (1)
mila siswi budak seks (1)

Share us on Facebook
Cerita Sex Dewasa XXX
© 2015 CeritaSeru.Net